SERI ADAB ISLAM 11 : ADAB-ADAB KETIKA SAFAR (BEPERGIAN JAUH) BAG.1

DALIL-DALIL :

Diriwayatkan dari :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ. (رواه البخاري)  

dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan, yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum dan tidurnya. Maka apabila dia telah selesai dari urusannya hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya”.  (HR.Al-Bukhari (no.1677), Muslim (no.1927), Ahmad (no.7184), Ibnu Majah (no.2882), Malik (no.1835), dan ad-Darimi (no.2670)).

Di Antara Adab-Adab Safar

1. Disunnahkan Berpamitan Lebih Dulu Bagi Orang Yang Hendak Pergi

Asy-Sya’bi mengatakan : Seseorang yang tiba dari safarnya disunnahkan mengunjungi saudara-saudaranya dan menyalami mereka, kemudian jika ia akan melakukan safar hendaklah mendatangi mereka untuk berpamitan dan mengharapkan do’a mereka. (Al-Adabusy Syar’iyyah (I/450)).

Seorang musafir disunnahkan berpamitan dengan mengucapkan do’a Nabi. Sebagaimana diriwayatkan :

عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ. (رواه أبو داود)

dari Qaza’ah, ia berkata; Ibnu Umar berkata kepadaku; kemarilah aku akan mengantarmu sebagaimana Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam mengantarku, kemudian ia mengucapkan; “ASTAUDI’ULLAAHA DIINAKA WA AMAANATAKA WA KHAWAATIIMA ‘AMALIKA” (Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan akhir dari amalanmu). (HR. Abu Dawud (no.2233), dan di Shahih kan oleh Syaikh al-Albani. Ahmad (no.4510), at-Tirmidzi (no.3442), dan Ibnu Majah (no.2826)).

Sabda beliau : Aku titipkan kepada Allah agamamu, maksudnya aku meminta kepada Allah agar menjaga agamamu. Adapun : dan amanahmu, al-Khaththabi berkata : Amanat di sini berarti kelurga (isteri), orang-orang dan harta yang ditinggalkannya, serta meminta kepada orang yang dipercaya olehnya. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (jilid IV (VII/187)).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ سَفَرًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالتَّكْبِيرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ فَلَمَّا وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ ازْوِ لَهُ الْأَرْضَ وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَرَ. (رواه أحمد)

dari Abu Hurairah, dia berkata; Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak pergi safar, lalu ia berkata; “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” beliau bersabda: “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bertakbirlah ketika melalui tempat yang tinggi, ” maka tatkala laki-laki itu pergi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda: “Ya Allah lapangkan bumi untuknya dan mudahkan perjalanannya.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, dan beliau menghasankannya (no.1346)(V/143)).

2. Dimakruhkannya Melakukan Safar Sendirian

Diriwayatkan :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ. (رواه البخاري)  

dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam bepergian sendirian seperti apa yang aku ketahui, tentu seorang penunggang kendaraan tidak akan bepergian di malam hari sendirian”.  (HR.Al-Bukhari (no.2776), Ahmad (no.4734), at-Tirmidzi (no.1673), Ibnu Majah (no.3768), dan ad-Darimi (no.2679)).

Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah, di antaranya :

Bahwa Nabi tidak mengabarkan kepada umatnya segala marabahaya yang akan terjadi jika seseorang melakukan safar sendirian sebagaimana yang beliau ketahui. Larangan tersebut bersifat umum, baik di waktu malam maupun siang, dikhususkannya malam, dan larangan tersebut berlaku umum mencakup orang yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki.

Larangan melakukan safar sendirian disebutkan juga dalam hadits yang diriwayatkan :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ. (رواه أبو داود)

dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang pergi sendirian seperti dua syetan, dua orang seperti dua syetan dan tiga orang lebih terjaga dari syetan.” (HR. Abu Dawud (no.2240), dan di hasankan oleh Syaikh al-Albani. Ahmad (no.6709), at-Tirmidzi (no.1674), dan Malik (no.1831)).

Al-Khaththabi mengatakan : maknanya bahwa sendirian dan bepergian seorang diri melakukan perjalanan di muka bumi termasuk perbuatan syetan, yaitu suatu perbuatan yang muncul dari dorongan syetan dan ajakannya. Demikian juga dengan safar yang hanya dilakukan berdua. Adapun jika safar ini dilakukan bertiga, maka ini adalah perjalanan secara berkelompok dan saling menemani.

Beliau melanjutkan : Seseorang yang melakukan safar sendirian, jika ia meninggal di perjalanan maka tidak ada yang memandikannya, mengkafaninya dan mempersiapkan segala pengurusan jenazahnya. Dan tidak ada seorang pun yang ia bisa mewasiatkan hartanya. (‘Aunul Ma’bud (jilid IV (VII/191))).

3. Disunnahkan Mengangkat Pemimpin Jika Safar Dilakukan Oleh Tiga Orang Atau Lebih

Diriwayatkan :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ. (رواه أبو داود)

dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!” (HR. Abu Dawud (no.2241), dan Syaikh al-Albani mengatakan : Hasan Shahih).

Ketika dalam safar tersebut mengharuskan adanya kebersamaan dan ketergantungan di antara mereka, maka disunnahkan bagi mereka (yang jumlahnya tiga orang atau lebih itu) untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka untuk kemaslahatan mereka. Kemudian mereka wajib menaatinya dan mengikuti setiap apa yang ia perintahkan selama ia tidak memerintahkan bermaksiat kepada Allah.

4. Larangan Membawa Anjing Dan Lonceng Dalam Safar

Rasulullah telah melarang membawa anjing dan lonceng dalam safar. Diriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصْحَبُ الْمَلَائِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلَا جَرَسٌ. (رواه مسلم)

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malaikat tidak mau menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng.” (HR.Muslim (no.3949), Ahmad (no.7512), at-Tirmidzi (no.1703), Abu Dawud (no.2555) dan ad-Darimi (no.2676)).

(Al-Jaras yaitu alat yang ditabuh. Dan ajrasahu yaitu menabuhnya. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda : Malaikat tidak akan menemani musafir yang membawa al-Jaras, yaitu genta yang tergantung di leher hewan ternak…. (Lisanul ‘Arab (VI/36)), topik : جرس).

Sebab dilarangnya lonceng karena alat itu adalah terompet syetan. Hal ini disebutkan dengan sangat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ. (رواه مسلم)

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR.Muslim (no.3950), Ahmad (no.8565), dan Abu Dawud (no.2556)).

Imam an-Nawawi mengatakan : …. Adapun al-Jaras (lonceng) sebagai penyebab berpaling atau larinya malaikat karena menyerupai lonceng gereja, atau termasuk gantungan yang terlarang. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena suaranya yang dibenci. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat tentang seruling syetan… (Syarah Muslim (jilid VI (XIV/78)).

Saya katakan : Jika sebab keengganan para malaikat menemaninya dalam safarnya karena dia membawa lonceng yang merupakan seruling syetan, lalu apakah bisa dikatakan jika ia membawa alat musik, maka malaikat juga tidak akan mau menyertai?? Yang jelas menurutku (wallahu a’lam) bahwa hal itu tidak ada bedanya.

5. Wanita Dilarang Melakukan Safar Tanpa Disertai Mahram

Asy-Syaikhan (Bukhari dan Muslim) dan selain keduanya meriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ. (رواه البخاري)  

dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu a berkata; Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan perjalanan selama satu hari satu tanpa didampingi mahramnya”.

Dalam lafazh Muslim disebutkan :

 أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا. (رواه مسلم)

bahwa Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah untuk bersafar sejauh sehari perjalanan, kecuali ditemani seorang laki-laki yang dari mahramnya.” (HR.Al-Bukhari (no.1026), Muslim (no.2386), Ahmad (no.7181), at-Tirmidzi (no.1170), Abu Dawud (no.1733),  Ibnu Majah (no.2889), dan Malik (no.1833)).

Diriwayatkan :                                                                                                 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتْ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ. (رواه البخاري)  

dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu”. (HR.Al-Bukhari (no.2784), Muslim (no.1341), Ahmad (no.1935), dan Ibnu Majah (no.2900)).

6. Disunnahkan Melakukan Safar Pada Waktu Pagi Di Hari Kamis

Dalam hadits riwayat Ahmad disebutkan :

عَنْ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ قَلَّ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا إِلَّا يَوْمَ الْخَمِيسِ. (رواه أحمد)  

dari Ka’ab bin Malik berkata; sangat jarang Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berangkat melakukan perjalanan kecuali pada Hari Kamis. (HR.Ahmad (no.15221)).

Diriwayatkan :

عَنْ صَخْرٍ الْغَامِدِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلًا تَاجِرًا وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ. (رواه أبو داود)

dari Shakhr Al Ghamidi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengucapkan: “ALLAAHUMMA BAARIK LI UMMATII FII BUKUURIHAA (Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari mereka). Dan beliau apabila mengirim expedisi atau pasukan beliau mengirim mereka di awal siang. Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di awal siang, maka hartanya bertambah banyak. (HR. Abu Dawud (no.2239), dan ini adalah lafazhnya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Ahmad (no.15012), at-Tirmidzi (no.1212), Ibnu Majah (no.2236), ad-Darimi (no.2435)).

7. Do’a Dan Dzikir Ketika Safar

a. do’a ketika naik kendaraan

diriwayatkan :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ شَهِدْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأُتِيَ بِدَابَّةٍ لِيَرْكَبَهَا فَلَمَّا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الرِّكَابِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ فَلَمَّا اسْتَوَى عَلَى ظَهْرِهَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ثُمَّ قَالَ {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ} ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَكَ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ ثُمَّ ضَحِكَ فَقِيلَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا فَعَلْتُ ثُمَّ ضَحِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ ضَحِكْتَ قَالَ إِنَّ رَبَّكَ يَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا قَالَ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرِي. (رواه أبو داود)

dari Ali bin Rabi’ah, ia berkata; aku menyaksikan Ali radliallahu ‘anhu dan ia telah diberi unta untuk ia naiki, kemudian tatkala ia telah meletakkan kakinya di dalam sanggurdi, ia mengucapkan; BISMILLAAH, dan ketika telah berada di atas punggungnya ia mengucapkan; AlHAMDULILLAAH, kemudian ia mengucapkan; SUBHAANALLADZII SAKHKHARA LANAA HAADZAA WA MAA KUNNAA LAHUU MUQRINIIN, WA INNAA ILAA RABBINAA LAMUNQALIBUUN (Maha Suci Dzat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan kepada Tuhan kami niscaya kami akan kembali). Kemudian ia mengucapkan; AlHAMDULILLAAH tiga kali, WALLAAHU AKBAR tiga kali, SUBHAANAKA INNII ZHALAMTU NAFSII FAGHFIR LII, FAINNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali engkau). Kemudian ia tertawa. Kemudian ia ditanya; wahai Amirul mukminin, kenapa engkau tertawa? Ia berkata; aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan seperti apa yang aku lakukan kemudian beliau tertawa dan aku katakan; wahai Rasulullah, kenapa engkau tertawa? Beliau bersabda: “Sesungguhnya Tuhanmu sungguh merasa kagum kepada hambaNya apabila mengucapkan; ya Allah, ampunilah dosa-dosaku! Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mengampuni dosa selainKu.” (HR. Abu Dawud (no.2235), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi (no.3446)).

b. do’a ketika pergi dan pulang dari safar

diriwayatkan :

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ عَلَّمَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ} اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ. (رواه مسلم)

bahwa Ibnu Umar, telah mengajarkan kepada mereka, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berada di atas kendaraan hendak bepergian, maka terlebih dahulu beliau bertakbir sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membaca do’a sebagai berikut: “SUBHAANALLADZI SAKHKHARA LANAA HAADZA WAMAA KUNNAA LAHU MUQRINIIN WA INAA ILAA RABBINAA LAMUNQALIBUUN. ALLAHUMMA INNAA NASALUKA FI SAFARINAA HADZAL BIRRA WAT TAQWA WA MINAL ‘AMALI MAA TARDLA ALLAHUMMA HAWWIN ‘ALAINAA SAFARANAA HADZA WATHWI ‘ANNAA BU’DAHU ALLAHUMMA ANTASH SHAAHIBU FIS SAFARI WAL KHALIIFATU FIL AHLI ALLAHUMMA INNI `A’UUDZU BIKA MIN WA’TSAA`IS SAFAR WAKA`AABATIL MANZHARI WA SUU`IL MUNQALABI FIL MAAL WAL AHLI (Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan takwa dalam perjalanan ini, kami mohon perbuatan yang Engkau ridloi. Ya Allah, permudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah pendampingku dalam bepergian dan mengurusi keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan kepulangan yang buruk dalam harta dan keluarga).” Dan jika beliau kembali pulang, beliau membaca do’a itu lagi dan beliau menambahkan di dalamnya, “AAYIBUUNA TAA`IBNUUNA ‘AABIDUUNA LIRABBINAA HAAMIDUUNA (Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).” (HR.Muslim (no.2392), Ahmad (no.6338), Abu Dawud (no.2599), at-Tirmidzi (no.3447), dan ad-Darimi (no.2673)).

Diriwayatkan :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَفَلَ مِنْ الْجُيُوشِ أَوْ السَّرَايَا أَوْ الْحَجِّ أَوْ الْعُمْرَةِ إِذَا أَوْفَى عَلَى ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ. (رواه مسلم)

dari Ibnu Umar, Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari peperangan besar maupun kecil, atau kembali dari haji dan umrah, atau bila beliau berada di puncak bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali, sesudah itu beliau baca: “LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR AAYIBUUNA TAA`IBNUUNA ‘AABIDUUNA LIRABBINAA HAAMIDUUNA, SHADAQALLAHU WA’DAH WA NASHARA ‘ABDAH WAHAZAMAL AHZAABA WAHDAH (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami. Allah Maha menepati janji-Nya, menolong para hamba-Nya dan Dialah yang mengalahkan pasukan Ahzab).” (HR.Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.1351) (V/149), ia berkata : Hadits ini telah disepakati keshahihannya. Diriwayatkan juga oleh Muhammad, dari Abdullah bin Yusuf, dan diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abi Umar, dari Ma’n yang keduanya dari jalan Malik).

c. doa ketika memasuki suatu kampong (desa) atau selainnya

Ibnul Qayyim berkata : Apabila Rasulullah mendekati suatu kampung (desa) dan beliau ingin memasukinya, maka beliau mengucapkan : Ya Allah, tujuh lapis langit dan setiap yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan setiap yang menghuninya, Rabb syetan-syetan dan setiap yang tersesat karena godaannya, dan Rabb angin dan semua yang ditaburkan oleh-Nya. Aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penduduknya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan penduduknya dan juga setiap keburukan yang ada di dalamnya. (Muhaqqiq kitab Zadul Ma’ad berkata : Sanadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (hal.197), Ibnu Hibban (no.2377), al-Hakim (II/100) dari Shuhaib, dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh al-Hafizh dalam kitab Amali al-Adzkar. (Lihat catatan kaki kitab Zadul Ma’ad (I/464)).

d. dzikir-dzikir yang disunnahkan bagi musafir di waktu sahur

diriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ. (رواه أبوداود)

dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga doa yang akan dikabulkan, dan tidak diragukan padanya, yaitu: doa orang tua, doa orang yang bersafar, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud (no.1536), dihasankan oleh Syaikh al-Albani. Ahmad (no.7458), at-Tirmidzi (no.1950), dan Ibnu Majah (no.3862)).

Bersambung ke poin no.8-14.

Digubah dan diringkas secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Kitabul ‘Adab karya Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub.